Selamatkan Lingkungan Melalui Dunia Pendidikan

Posted Minggu, 15 Januari 2012 by LaLa Melati

Oleh Melati Budi Srikandi ( MP 33 )

Lingkungan hidup dari waktu ke waktu semakin mengalami ancaman yang sangat serius dan kerusakan yang setiap saat berlalu semakin hari semakin bertambah parah. Kerusakan yang disebabkan oleh pola hidup yang tidak ramah lingkungan dari manusia merupakan penyebab kuat yang memberi andil terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Sebagai akibatnya, keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Hutan-hutan lindung yang seharusnya menjadi paru-paru kawasan, bahkan paru-paru dunia, di negara ini nilainya sudah sangat tidak berharga diperjual belikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, hutan dibabat, ditebang, dan dihabisi tanpa mempedulikan dampak apa yang kemudian terjadi akibat dari pengrusakan hutan tersebut. Bencana banjir, longsor, kekeringan di musim kemarau, peningkatan pemanasan suhu atau dikenal juga dengan istilah global warming semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya walaupun kerusakan didepan mata sudah begitu mencolok, hal tersebut belum cukup untuk menjadikan kerusakan lingkungan itu sebagai pelajaran yang dapat menumbuhkan kepedulian dan perhatian di kalangan warga masyarakat pada umumnya. Upaya penyadaran dari berbagai aktivis dan pecinta lingkungan sudah mulai banyak dilakukan, dari seminar,pelatihan, pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya terkait kampanye penyelamatan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan. Hal ini tentu harus didukung dan semakin diperbanyak agar efek kegiatan yang dilakukan bisa semakin terasa pengaruhnya ditengah masyarakat.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, baik itu dalam skala besar ataupun kecil pastinya tetap menyumbang emisi karbon bagi bumi ini. Beberapa waktu lalu Organisasi Pangan dan Pertanian melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen dari total hutan nasional atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari. Dengan rusaknya hutan tropis Indonesia , baik akibat pembalakan liar maupun kebakaran hutan pastinya akan menambah jumlah karbondioksida (CO2) di udara. Bertambahnya konsentrasi CO2 ini jelas akan meningkatkan rata-rata suhu bumi. Masih menurut perhitungan para ahli, secara kasar, rata-rata suhu udara di dekat permukaan bumi meningkat sebesar 0,74 derajat Celcius selama satu abad terakhir. Tidak hanya Indonesia dan negara berkembang lainnya yang menyumbang emisi karbon, Negara maju pun demikian.

Indonesia sendiri, dahulu dikenal sebagai sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang membentang di sepanjang garis khatulistiwa yang beribarat untaian zamrud berkilauan sehingga membuat para penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan tongkat kayu dan batupun bisa jadi tanaman – seperti lagunya Koes Plus yang berjudul Kolam Susu.

Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak lagi nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan tongkat dan kayu, bibit unggul pun gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan, perburuan satwa liar, pembakaran hutan, penebangan liar nyaris tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri ini seolah-olah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang-wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat.

Mengapa bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup ? Bukankah Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional telah membangun kesepakatan bersama tentang pendidikan lingkungan hidup ? Namun, mengapa korban-korban masih terus berjatuhan akibat rusaknya lingkungan yang sudah berada pada titik nadir? Siapa yang mesti bertanggung jawab ketika bumi ini tidak lagi bersikap ramah terhadap penghuninya? Siapa yang harus disalahkan ketika bencana dan musibah datang beruntun menelan korban orang-orang tak berdosa? Pertanyaan panjang yang jawabannya akan panjang dan tidak mudah dilaksanakan.

Dewasa ini, agaknya hampir tidak ada lagi tanah di Indonesia yang nyaman bagi tanaman untuk tumbuh dengan subur. Mulai pelosok-pelosok dusun hingga perkotaan hanya menyisakan celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Bahkan yang tumbuh bukan hutan tanaman, melainkan hutan beton dan hamparan semen yang menyulitkan penyerapan air. Di pelosok-pelosok dusun, berhektar-hektar hutan telah gundul, terbakar, dan terbabat habis sehingga tak ada tempat lagi untuk resapan air. Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya. Sementara itu, di perkotaan telah tumbuh cerobong-cerobong asap yang ditanam kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Polusi tanah, air, dan udara benar-benar telah mengepung masyarakat perkotaan sehingga tak ada tempat lagi untuk bisa bernapas dengan bebas dan leluasa. Limbah rumah tangga dan industri makin memperparah kondisi tanah dan air di daerah perkotaan sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai jenis penyakit yang bisa mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.

Meskipun demikian, jika hanya mencari kambing hitam siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah cara yang arif dan bijak. Lingkungan hidup merupakan persoalan bersama yang membutuhkan partisipasi semua elemen masyarakat untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan komponen bangsa yang lain harus memiliki kemauan yang kuat untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan hidup dari ulah tangan jahil para penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi dengan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang dengan kasat mata telah terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Sopir hukum harus benar-benar mampu mengendalikan dan mengarahkan para penjahat lingkungan hidup kedepan sangsi hukum yang setimpal untuk memberikan efek jera sekaligus memberikan pelajaran bagi penjahat yang lain.

Yang tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta lingkungan hidup melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan harus menjadi benteng yang tangguh untuk menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan secara nyata untuk selanjutnya disemaikan ke dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak bercorak teoretis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih interaktif dengan mengajak siswa didik untuk berdiskusi dan bertukar pikiran melalui topik-topik lingkungan hidup yang menarik dan menantang. Lingkungan hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan dalam selingan – selingan mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang sesuai. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran.

Budaya mencintai lingkungan hidup ini perlu dikembangkan khususnya dalam dunia pendidikan karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang nantinya akan menjadi penentu kebijakan mengenai penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan itu harus dimulai sekarang juga. Depdiknas yang memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan harus secepatnya mensosialisasikan agar dunia pendidikan kita mampu melahirkan generasi masa depan yang sadar lingkungan dan memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya.(mel)