Dia Pergi

Posted Minggu, 21 Maret 2010 by LaLa Melati
Matahari mulai condong ke barat , lampu – lampu luar kompleks sudah mulai menyala menggantikan sinar matahari yang sudah mulai hilang berganti bulan . Hariku kelabu , tak kusangka hari ini benar – benar tiba .
“Tuhan , tolong jangan biarkan dia pergi ,“ rintihku
Setitik demi setitik air mataku jatuh ke pangkuan. Membayangkan hari – hari indah saat dia masih disini. Air mataku terus mengalir seperti derasnya hujan. Begitu berat rasanya menerima kenyataan ini. Bagaikan mimpi.
Kupandangi langit senja itu. Termenung aku menatap indahnya, walau tak seindah suasana hatiku saat ini. Aku benar – benar tak percaya .
“La. . . ,” Icha membuyarkan lamunanku .
“Eh , kamu Cha ,” sahutku seraya menyeka air mata.
“Kamu kenapa La ? Inget Eza lagi ?”
“He’e Cha , rasanya kaya mimpi. Aku masih belum percaya sampe sekarang.”
“Shila…Shila… Udahlah , aku juga ngrasain hal yang sama ko. Tapi kan nggak usah sampe bikin kamu nge-drop gini !”
“Iya Cha , aku tau. Aku juga udah berusaha tegar , tapi susah banget rasanya.”

Aku – Shila - , Icha dan Eza sudah berteman sejak kecil. Sebagian kisah hidupku adalah mereka. Sebagian jiwaku adalah mereka. Beribu tetesan air mata dan berjuta tawa sudah kami lalui bersama. Hari – hari kami selalu indah jika bersama , tetapi tak jarang juga kami mengalami perselisihan

Saat aku dan sahabat – sahabatku beranjak remaja , kami tak sering lagi menghabiskan waktu bersama. Sebagian waktu kami diisi dengan kegiatan di sekolah kami masing – masing. Hingga saat itu tiba. Setelah lama kami tak saling berkabar , aku menerima berita yang menyesakkan dada dari ibuku tentang Eza .
Hari itu waktu menunjukkan pukul 18.41 , ibuku menerima telepon dengan wajah pucat. Tak tau dari mana asal telepon itu.
“Klek…” ibu menaruh ganggang telepon.
“Dari siapa bu ?” tanyaku bingung
“Tante Eva -mama Eza-.”
“Ada apa ? “
“La… Eza La…” ujar ibuku dengan bibir gemetar. Aku semakin bingung , hatiku berkata ada hal yang tidak mengenakkan telah terjadi.
“Eza kenapa bu ?”
“Dia harus pindah rumah hari ini , malam ini juga.” Ujar ibuku dengan mata berkaca – kaca. Ia pun segera meraih sweater dan bergegas pergi ke rumah Eza . Melihat ibuku yang kalut , aku hanya termangu. Diam dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

Langkahku tertahan. Seharusnya aku berlari menghampiri Eza untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi, hal itu tak kulakukan. Langkahku tertahan, hingga malam itu berlalu tanpa ucapan selamat tinggal untuk Eza. Tidak memberikan ucapan selamat tinggal untuk Eza adalah kesalahan besar dalam hidupku , penyesalan itu memang selalu datang belakangan. Hari – hariku kemudian dipenuhi rasa bersalah. Setiap hari aku memimpikannya, berharap ia memberi kabar kepadaku atau Icha. Aku tak tahu apa yang membuat dia dan keluarganya harus beranjak dari rumahnya, juga kami sahabat – sahabatnya.


Aku tak habis pikir, aku tak percaya dan aku menyesal tak memeluknya bahkan sekedar mengucapkan selamat tinggal pun tak kulakukan. Aku kehilangan sebagian dari diriku. Aku kehilangan sosok sahabat dan kakak yang selama ini memberi warna dalam hidupku. Beberapa hari setelah Eza pergi , aku mulai mencari tahu keberadaannya. Bersama Icha aku memulai pencarian dari Sekolahnya. Aku tanya satu persatu teman sekolahnya , tapi tak ada satupun yang tahu , ternyata setelah kejadian malam itu, Eza absen dari sekolahnya. Aku dan Icha tak tahu lagi harus mencari kemana . Kabar darinya pun tak kunjung datang . Setelah beberapa waktu aku kehilangan jejaknya, akhirnya jejak itu mulai terbaca. Secara tak sengaja aku mendengar obrolan ibu – ibu kompleks sore hari, aku mendengar salah seorang ibu berkata,”Iya tuh , sekarang si Eva ada di daerah Cemara.”


Aku tersenyum. Keesokan harinya , bersama Icha sepulang sekolah kutelusuri jalanan daerah Cemara sesuai dengan apa yang kudengar kemarin sore. Tak kuperoleh sedikitpun petunjuk. Langkahku tak terhenti sampai disini, kuulangi lagi dan kuulangi lagi menelusuri jalanan Cemara, tetap saja tak kutemukan sosok Eza. Aku hamper putus asa, sampai pada akhirnya tak sengaja aku melihat sosok laki – laki tinggi tegap dalam keadaan lusuh sedang berjalan terhuyung ditemani bayangan sinar matahari sore. Setelah kudekati, kudapati Eza dengan wajah pucat. Kupeluk dia seerat mungkin seakan tak pernah kubiarkan dia pergi lagi. Kutanya dia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan keluarganya.


Eza mulai bercerita dengan linangan air mata, usaha keluarganya bangkrut karena tertipu oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab. Karena itu keluarganya harus rela menjual rumah milik keluarganya dan pindah ke tempat yang lebih sederhana. Ia juga harus membantu ayahnya membangkitkan kembali usaha ayahnya yang sudah luluh lantah. Aku tak tega melihatnya yang dulu ceria dan selalu memberiku semangat dalam hidup, kini lusuh , pucat seperti tak punya semangat dalam hidup. Sungguh rumit, bahkan aku tak dapat membantu sedikitpun, yang bisa kulakukan hanyalah membuat batin Eza bangkit lagi dari keterpurukan ini. Dan aku hanya bisa ikhlas menerima kepergian Eza, karena itu yang terbaik bagi Eza dan keluarganya. Aku selalu berdoa agar dia bahagia , agar dia bisa melewati cobaan ini dengan ikhlas dan hati yang lapang karena aku percaya Tuhan punya rencana yang lebih baik untuknya dan keluarganya. Aku sayang Eza dan Icha.

0 komentar:

Posting Komentar